Sabtu, 02 Juni 2012

REVIEW JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI



REVIEW JURNAL : PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
                                SEBUAH KEWENANGAN BARU PERADILAN AGAMA *
PENGARANG     : PROF.DR. H. ABDUL MANAN, SH., S.IP., M.Hum.
                                                                      
NAMA ANGGOTA
1.     RIZKY NAILUVAR              (26210179)
2.     YESI KURNIYATI               (28210624)
3.     RATNA SARI                       (25210672)
4.     DILLA OETARI. D               (22210016)
5.     AHRARS BAWAZIER           (29210101)
KELAS                                                            : 2EB05
 
Abstrak  
Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah terdapat dua metode untuk menyelesaikannya yaitu berdasarkan tradisi islam klasik dan berdasarkan tradisi hukum positif di Indonesia. Kedua metode ini sama tujuannya yaitu menyelesaikan dengan musyawarah yg mufakat. Dalam penyelesaiannya juga, terdapat hukum-hukum yg menjadi acuan nya dan solusi dalam kendala-kendala yg di hadapi oleh lembaga yg bersangkutan.
 
I.  PENDAHULUAN
Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiel tentang ekonomi syari‟ah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata 3
umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Indonesia, dan Dewan Wakaf Nasional Indonesia. Saat ini Kelompok Kerja Perdata Agama (Pokja-Perdata Agama) Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama, tentu hal ini sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah diterbitkan.
 Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari‟ah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah yang meliputi bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksadana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah, pembiayaan syari‟ah, pergadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah dan bisnis syari‟ah.
Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syari‟ah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Bank Syari‟ah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang penglolaannya berdasarkan prinsip syari‟ah.
 
II.   PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH BERDASARKAN TRADISI ISLAM KLASIK
1.    Al Sulh (Perdamaian)
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
a.    Hal yang menyangkut subyek
b.    Hal yang menyangkut obyek
c.    Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
d.    Pelaksana perdamaian
2.    Tahkim (Arbitrase)
3.    Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a.    Al Hisbah
b.    Al Madzalim
c.    al Qadha (Peradilan)
 
III.   PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BERDASARKAN TRADISI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu doktrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia.
Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut :
a. Konsultasi
Black‟s Law Dictionary memberi pengertian Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya”.
b. Negosiasi
Dalam Business Law, Prinsiples, Cases and Policy yang disusun oleh Mark E. Roszkowski disebutkan : Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran
c. Konsiliasi
Black‟s Law Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi.
d. Pendapat atau Penilaian Ahli
Bentuk ADR lainnya yang diintrodusir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli.
2. Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction).
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang dilaksanakannya.
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis ummat Islam berdasar syari‟ah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak.
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan di tempat-tempat lain yang dipandang perlu.
IV. SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari‟ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum.
2. Sumber Hukum Materil
a. Nash al Qur‟an
Dalam al Qur‟an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan.
b. Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari‟ah.
4. Fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN)
Dewan syari‟ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah.
5. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad.
6. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari‟ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari‟ah.
7. Adab Kebiasaan
Islam sengaja tidak menjelaskan semua persoalan hukum, terutama dalam bidang muamalah didalam al Qur‟an dan al Sunnah. Islam meletakkan prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman.
8. Yurisprudensi
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi (putusan Pengadilan Agama) yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah.
 
 V. PENUTUP
Beberapa hal yang menyangkut permasalahan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari‟ah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama. Sudah tentu kendala-kendala yang dihadapi cukup banyak, namun sebahagian kecil permasalahan tersebut telah diuraikan di atas dengan maksud semua pihak, terutama aparat di lingkungan Peradilan Agama supaya mempersiap diri menghadapi kendala-kendala tersebut, guna mengantisipasi dalam menangani kasus-kasus penyelesaian sengketa ekonomi Syari‟ah yang ditugaskan kepadanya.
 
Kesimpulan
Salah satu wewenang peradilan agama adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari‟ah”. Contoh kasus yg terjadi adalah sengketa ekonomi syariah di selesaikan melalui pengadilan umum, bukan pengadilan agama. Karena hal ini tidak sesuai dengan proporsi nya. Seharusnya pihak yg lebih memahami masalah mengenai syariah lah yg menyelesaikannya.

REVIEW JURNAL WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN


o   REVIEW JURNAL      : WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
                                                 
o   PENGARANG             : Wahyuni Safitri
o   INSTITUSI                  : Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam      Samarinda
o   SUMBER JURNAL                 : http://www.3sfirm.com/index.php/journal/41-karya-tulis/136-wajib-daftar-perusahaan
NAMA ANGGOTA
Ø  RIZKY NAILUVAR              (26210179)
Ø  YESI KURNIYATI                (28210624)
Ø  RATNA SARI                         (25210672)
Ø  DILLA OETARI. D               (22210016)
Ø  AHRARS BAWAZIER          (29210101)
KELAS                                                :             2EB05
ABSTRAK     
Wajib Daftar Perusahan sebagaimana yang terdapat didalam Undang-Undang No.3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan sangat bermanfaat baik dari segi Pemerintah, Dunia Usaha maupun pihak lain yang berkepentingan adapun tujuan dilakukannya daftar perseroan adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dan resmi untuk semua pihak yang berkepentingan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. Dengan demikian daftar perusahaan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna bagi perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Indonesia.
Kata Kunci : Wajib Daftar Perusahaan, Perseroan Terbatas
PENDAHULUAN
Dengan melihat dasar pertimbangan dan Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan(UUWDP), daftar perusahaan merupakan daftar catatan resmi yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Ada 3 (tiga) pihak yang memperoleh manfaat dari daftar perusahaan tersebut yaitu:
a. Pemerintah
Dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan termasuk untuk kepentingan pengamanan pendapatan Negara yang memerlukan informasi yg akurat.
b. Dunia usaha
Mempergunakan daftar perusahaan sebagai sumber informasi untuk kepentingan usahanya. Selain itu juga dalam upaya mencegah praktek usaha yg tidak jujur.
c. Pihak lain yang berkepentingan atau masyarakat yang memerlukan informasi yang benar. (I.G. Rai Widjaja, 2006 : 270)
Mengingat manfaat tersebut di atas maka tujuan daftar perusahaan seperti terdapat pada pasal 2 UUWDP adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha, seperti yang terdapat dalam pasal 3 UUWDP yaitu daftar perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak dan pasal 4 nya setiap pihak yang berkepentingan setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam daftar perusahaan.
Dalam pasal 29 UU PT No 40 tahun 2007 dinyatakan bahwa pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Menkumham, sedangkan dalam ketentuan UUWDP pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Departemen Perdagangan.
PEMBAHASAN
A. DASAR HUKUM WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
Pertama kali diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 23 : Para persero firma diwajibkan mendaftarkan akta itu dalam register yang disediakan untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri) daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu. Selanjutnya pasal 38 KUHD : Para persero diwajibkan untuk mendaftarkan akta itu dalam keseluruhannya beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad van justitie dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi.
Dari kedua pasal di atas firma dan perseroan terbatas diwajibkan mendaftarkan akta pendiriannya pada pengadilan negeri tempat kedudukan perseroan itu berada, selanjutnya pada tahun 1982 wajib daftar perusahaan diatur dalam ketentuan tersendiri yaitu UUWDP yang tentunya sebagai ketentuan khusus menyampingkan ketentuan KUHD sebagai ketentuan umum. Dalam pasal 5 ayat 1 UUWDP diatur bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan di kantor pendaftaran perusahaan.
Pada tahun 1995 ketentuan tentang PT dalam KUHD diganti dengan UU No.1 Tahun 1995, dengan adanya undang-undang tersebut maka hal-hal yang berkenaan dengan PT seperti yang diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 56 KUHD beserta perubahannya dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UUWDP pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan guna kelancaran dan peningkatan kualitas pelayanan pendaftaran perusahaan, pemberian informasi, promosi, kegunaan pendaftaran perusahaan bagi dunia usaha dan masyarakat, meningkatkan peran daftar perusahaan serta menunjuk penyelenggara dan pelaksana WDP. (I.G.Rai Widjaja, 2006: 273)
Jadi dasar penyelenggaraan WDP sebelum dan sewaktu berlakunya UUPT yang lama baik untuk perusahaan yang berbentuk PT, Firma, persekutuan komanditer, Koperasi, perorangan ataupun bentuk perusahaan lainnya diatur dalam UUWDP dan keputusan menteri yang berkompeten.
B. WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SETELAH ADANYA UU No. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Setelah resmi berlakunya Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007 yang merupakan pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1995 dalam Pasal 157 ayat 2 disebutkan bahwa Anggaran dasar dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan UUPT yang baru. Permasalahan selanjutnya adalah penyesuaian yang bagaimana yang harus dilakukan dalam hal memperoleh status badan hukum atau persetujuan atau pelaporan perubahan anggaran dasar. Salah satu ketentuan baru dalam UUPT barn adalah pengajuan permohonan pendirian PT dan penyampaian perubahan anggaran dasar secara online dengan mengisi daftar isian yang dilengkapi dokumen pendukung melalui sistem yang dikenal yaitu Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)..
SABH berada dibawah kewenangan Departemen Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum maka untuk pendaftaran perusahaan yang merupakan satu kesatuan dalam proses SABH juga merupakan kewenangan Departemen Hukum dan HAM, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 29 UUPT yang baru. Ketentuan pasal 29 tersebut jelas berbeda dengan pasal 21 ayat 1 UUPT lama beserta penjelasannya bahwa pendaftaran perusahaan mengacu pada UUWDP. Perbedaan antara ketentuan pasal 29 UUPT baru dengan pasal 21 ayat 1 UUPT lama terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan pendaftaraan perusahaanBeranjak dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas perlu dilakukannya penafsiran hukum.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah daftar perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Kemudian, kalau kita merujuk pada ketentuan pasal 5 ayat 1 UUWDP dimana ;
Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan di kantor pendaftaran perusahaan.
Pengertian perusahaan dalam UUWDP sebagaimana diatas telah dijelasksan dimana salah satunya perseroan terbatas. Kemudian berdasarkan pasal 9 UUWDP ;
Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
Yang dimaksud Menteri dalam UUWDP berdasarkan pasal 1 huruf e adalah: Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perdagangan
Kemudian, dalam keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/MPP/Kep/U1998 Tahun 1998 yang diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 327/MPP/Kep/7/1999 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang penyelenggaraan pendaftaran perusahaan dinyatakan tempat kedudukan dan susunan kantor pendaftaran perusahaan baik yang berada di tingkat pusat, di tingkat propinsi yaitu kabupaten/kota/kotamadya.
Selanjutnya dengan berlakunya UUPT yang baru berdasarkan ketentuan Penutup dalam Pasal 160 dinyatakan bahwa:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tiak berlaku.
Adapun UUPT yang baru mulai berlaku pada 16 Agustus 2007, sehingga sejak tanggal tersebut mulailah berlaku ketentuan UUPT baru dan UUPT lama dinyatakan tidak berlaku. Setelah kita menghubungkan pasal satu dengan pasal lainnya dari ketiga undang-undang yaitu UUPT lama, UUWDP dan UUPT yang baru, maka dapat disimpulkan dengan tidak berlakunya ketentuan UUPT lama tersebut, maka UUWDP yang dikaitkan dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 tidak berlaku lagi bagi PT sedangkan untuk bentuk usaha lainnya seperti Firma, Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), serta perusahaan lain yang melaksanakan kegiatan usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, UUWDP masih tetap berlaku. Hal ini dikarenakan dalam UUPT yang baru dinyatakan mengenai pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang hukum dan hak asasi manusia.Berdasarkan pada ketentuan tersebut, jadi Departemen Hukum dan HAM yang berwenang untuk menyelenggarakan pendaftaran perseroan.
 KESIMPULAN                                                         
Dapat disimpulkan bahwa UUWDP masih tetap berlaku bagi badan, hukum lainnya selain badan hukum yang berbentuk PT seperti Firma, Persekutuan
Komanditer (CV), Koperasi dan bentuk usaha perorangan, tetapi yang berkaitan dengan pendaftaran perseroan bagi PT tidak lagi merujuk UUWDP tetapi kepada UUPT No 40 tahun 2007 serta ketentuan lebih lanjut tentang daftar perseroan yang diatur oleh Menkumham yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Ham No.M.HH.03.AH.01.01 tahun 2009 tentang Daftar Perseroan.
 DAFTAR PUSTAKA                                               
I.G.Rai Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Hukum Perusahaan, cetakan keenam Bekasi, Kesaint Blanc, Maret, 2006
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, citra Aditya Bakti, 1993.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor. M. HH. 03. AH. 01. 01 Tahun 2009 Tentang Daftar Perseroan.

REVIEW JURNAL ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT



Review Jurnal : PERAN IKLIM PERSAINGAN USAHA YANG SEHAT DALAM MEWUJUDKAN SISTEM INOVASI NASIONAL, UMKM YANGKUAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Pengarang           : Tresna Priyana Soemardi
Institusi               : Alumni Teknik Mesin ITB Angkatan 1975
Sumber Jurnal    : www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/ITB75.../ITB%20CECEP.doc
NAMA ANGGOTA
1.     RIZKY NAILUVAR              (26210179)
2.     YESI KURNIYATI               (28210624)
3.     RATNA SARI                       (25210672)
4.     DILLA OETARI. D               (22210016)
5.     AHRARS BAWAZIER           (29210101)
KELAS                                                            : 2EB05
ABSTRAK
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia yang merupakan amanat seluruh rakyat ketika memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda selama 350 tahun dan dari penjajahan Jepang selama 3,5 tahun untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang merdeka untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar negara Indonesia, merupakan dasar dalam menyusun sistem negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Dalam perjalanannya sebagai bangsa yang merdeka, Negara Republik Indonesia baru menganggap penting Persaingan Usaha yang Sehat pada tahun 1999 setelah 54 tahun merdeka, suatu proses belajar yang cukup panjang. Setelah 50 tahun lebih Negara Indonesia merdeka barulah lahir Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain setelah 50 tahun lebih merdeka, barulah rakyat Indonesia yang bekerja sebagai pelaku usaha atau pebisnis diproklamasikan kemerdekaannya dalam berusaha pada tahun 1999 dengan ditanda tanganinya UU No.5 tahun 1999 oleh Presiden pada saat itu Prof.Dr.ing. B.J. Habibie. Selama 50 tahun lebih praktek monopoli dan praktek anti persaingan tidak diatur secara hukum alias dihalalkan dalam dunia usaha di Indonesia. Persekongkolan antara Pemerintah/Lembaga Negara dengan pelaku usaha/BUMN menciptakan diskriminasi dan Kesempatan berusaha yang tidak sama antara pelaku usaha (besar, menengah dan kecil), dengan menghilangkan persaingan antar pelaku usaha (lessening competition) dan menciptakan konsentrasi kelompok interest atau pasar berbentuk oligopolistik,  yang akhirnya mematikan sistem inovasi nasional bahkan berjalan dengan waktu secara sistemik menciptakan pengangguran, inflasi yang tinggi dan kemiskinan di masyarakat.
3. Paper ini berusaha menjelaskan bagaimana fenomena persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli yang ada dalam sistem pembangunan ekonomi nasional dapat menghancurkan sistem inovasi nasional, melemahkan sektor riil UMKM  dan menciptakan kemiskinan rakyat Indonesia secara struktural dalam sektor-sektor penting seperti pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, kerajinan rakyat, pasar tradisional dsb.
4. Paper ini juga berusaha merumuskan rekomendasi harmonisasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum harmonis dengan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat.
---PERSAINGAN SEHAT SEJAHTERAKAN RAKYAT---
1. PENDAHULUAN: ERA PEMBANGUNAN NASIONAL TANPA KELEMBAGAAN PERSAINGAN USAHA, 1945-2000
1945-1965: Era Stagnasi Pembangunan Ekonomi dan Inflasi berkepanjangan
Pembangunan ekonomi pada masa itu, tidak kunjung terwujud pembangunan ekonomi secara sistemik dan berkesinambungan menciptakan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, gotong royong dan usaha bersama.
1966-1996: Era rehabilitasi perekonomian Indonesia yang bertumpu pada bantuan dan investasi asing
Dalam era orde-baru, era kepemimpinan Soeharto, Pembangunan politik dan ekonomi menunjukkan pemantapan secara sistemik lebih baik, melalui konsep trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan-stabilitas dan pemerataan.
2. PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENIADAKAN INOVASI, MELEMAHKAN UMKM DAN  MENCIPTAKAN KEMISKINAN: TINJAUAN PADA ERA ORDE-BARU DAN TRANSISI ERA UU PERSAINGAN, 1985-2010
Kasus Petani Jeruk
Salah satu masalah serius yang sering dihadapi para petani di Indonesia adalah sistem tata niaga yang merugikan mereka dengan adanya praktek monopoli dalam sistem tersebut. Masalah ini dihadapi oleh petani-petani jeruk Pontianak, Kalimantan, terutama pada era orde baru (era soeharto), tepatnya sekitar awal dekade 90-an ketika diberlakukan tata niaga jeruk yang monopolistik oleh pemerintah. Setiap jeruk petani harus dijual kepada PT.Bina Citra Mandiri (BCM) yang merupakan perusahaan milik Tommy Suharto. Bukan Cuma harga jeruk yang ditentukan PT.BCM, tetapi quota jeruk juga diberlakukan dengan sangat ketat.
Sistem monopoli dalam tata niaga ini melarang petani menjual jeruk hasil produksinya yang melimpah kepada pihak lain di luar PT.BCM. Pedagang pengumpul hanya boleh menjual sekitar 10% dari total omsetnya. Ketentuan ini dengan sendirinya membuat pasokan di pasar sedikit, yang berakibat pada peningkatan harga jeruk yang significant dan yang mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga tersebut adalah hanyalah PT.BCM.
Sektor Industri Susu
Berdasarkan evaluasi dan kajian dampak dari kebijakan pemerintah (Direktorat Kebijakan Persaingan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008) mengenai persaingan usaha dalam industri susu, pola pengembangan peternakan dan jalur distribusi susu sapi ditandai dengan adanya ketergantungan koperasi/peternak terhadap industri pengolahan susu (IPS). Ketergantungan tersebut mengakibatkan IPS memiliki posisi dominan sehingga dapat menetapkan standar teknis dan kebijakan harga beli secara sepihak.
Dari sisi koperasi/peternak, banyak masalah hingga saat ini, yang dapat diduga (secara empiris belum terbukti) juga disebabkan oleh sistem ketergantungan tersebut. Pertama, walau ada peningkatan produktifitas namun tingkatnya masih relatif rendah, dan secara agregat, pemilikan sapi perah per peternak masih di bawah ambang skala ekonomis. Kedua, tingkat kesesuaian mutu
teknis masih rendah. Ketiga, pasokan maupun harga bahan pakan ternak serta konsentrat (yang secara finansial, kedua pos tersebut mendominasi struktur biaya usaha sapi perah).dalam kondisi tertentu relatif tidak stabil.
3. PERAN HUKUM, KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN PERSAINGAN USAHA DALAM MEMPERKOKOH SISTEM INOVASI NASIONAL DAN PENGENTASAN KEMISKINAN: 1999-SAAT INI
Lahirnya Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat serta Pembentukan KPPU-RI, dalam rangka penegakan hukum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia memiliki tugas dan kewenangan melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait.
Sejumlah perkara yang pernah ditangani KPPU RI yang menarik perhatian publik dan berdampak luas:
a. Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002)
b. Kasus Diskriminasi Cineplex 21 (2002)
c. Kasus Persekongkolan Tender divestasi VLCC Pertamina (2004)
d. Kasus Persekongkolan tender Tinta KPU (2004)
e. Kasus Penyalahgunaan posisi dominan oleh Carrefour (2005)
Dampak Hukum Persaingan dan Peran Kelembagaan Persaingan dalam Pembangunan Ekonomi
Meskipun hanya setitik, KPPU telah mencatat sejumlah kinerja yang terukur di tengah berbagai kendala dan keterbatasan yang dihadapi. Secara kualitatif, kinerja KPPU RI dapat diukur dari tingkat efisiensi, daya saing, dan kesejahteraan masyarakat.
Namun diakui, bahwa parameter kinerja akan lebih objektif jika dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Hal ini masih sulit dilakukan akibat keterbatasan dana dan sumberdaya manusia yang kompeten.
4. PENUTUP
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga terkait erat dengan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, sudah menjadi penyakit kronis dan meluas di Indonesia. Berbagai upaya mewujudkan iklim persaingan yang sehat dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan regulasi dan penegakan hukum persaingan sudah dilakukan. Namun demikian, untukmainstreaming nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek pembangunan eknomi nasional tidak dapat dilakukan hanya dengan penegakan hukum dengan kehadiran UU No. 5 dan lembaga KPPU-RI.
Kesimpulan:
Persaingan usaha yg tidak sehat akan menimbulkan kesenjangan diantara tingkatan usaha masyarakat (kecil, menengah, besar) serta membuat praktek korupsi, kolusi dan nepotime terjadi. Dengan penegakkan hukum yg jelas maka akan meningkat kan pertumbuhan ekonomi dan meminimalkan angka kemiskinan.

REVIEW JURNAL PERLINDUNGAN KONSUMEN


REVIEW JURNAL :  UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN DAMPAKNTA KEPADA PELAYANAN RUMAH     SAKIT
PENGARANG              : dr. A.W.Budiarso - Persi Pusat
NAMA ANGGOTA                                            
1.     RIZKY NAILUVAR              (26210179)
2.     YESI KURNIYATI                (28210624)
3.     RATNA SARI                      (25210672)
4.     DILLA OETARI. D               (22210016)
5.     AHRARS BAWAZIER         (29210101)
KELAS                                                            : 2EB05
I. Pendahuluan
Pendirian sebuah rumah sakit antara lain bertujuan untuk melayani masyarakat akan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk itu rumah sakit akan memproduksi jasa layanan kesehatan antara lain rawat jalan, rawat inap, penunjang diagnostik, farmasi dan berapa layanan yang lain.
Beberapa dekade tahun yang lalu hubungan antara rumah sakit selaku produsen jasa layanan kesehatan dan penderita selaku konsumen menurut kacamata pengamat belumlah harimonis benar. Seorang pakar pemasaran rumah sakit menyatakan dalam bukunya sebagai berikut: “… pada waktu memerlukan layanan kesehatan pada sebuah rumah sakit, seorang calon penderita hanya mempunyai hak untuk menentukan ke rumah sakit mana dia akan pergi. Setelah itu dia harus menurut tentang semua hal kepada dokter dan rumah sakit yang merawatnya tentang sakitnya, pemeriksaan dan pengobatan apa saja yang harus dijalaninya tanpa didengar pendapatnya …..”
Pada akhir-akhir ini sudah banyak dicapai kemajuan hubungan antara rumah sakit dan penderita, sudah merupakan kejadian yang biasa bahwa seorang penderita menuntut rumah sakit atas layanan yang dia terima dan sebuah rumah sakit. Akibat dari hal ini dokter dan rumah sakit sudah lebih hati-hati dalam melaksanakan kegiatan profesinya.
Disamping itu para pelaksanan rumah sakit terutama para dokter juga berusaha untuk melaksanakan profesinya dengan baik. Tetapi dapat terjadi bahwa dokter walaupun telah berusaha dengan sungguh-sungguh, ada kemungkinan tetap akan ada kemungkinan melakukan kesalahan. Pada pengamatan di ,lapangan, sudah ada beberapa perusahaan asuransi yang menghubungi para dokter untuk bekerja sama dalam menghadapi kemungkinan menghadapi tuntutan atas kesalahan atau kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh para dokter, dan ini merupakan biaya tambahan bagi dokter tersebut. Sehingga perlu kita waspadai bahwa pada ujung-ujungnya semua biaya ini akan dibebankan pada seluruh penderita yang dilayani dokter tersebut. Jalan yang terbaik ialah diambil kebijakan yang terbaik agar dapat mengakomodasi kedua gejala diatas.
II. Hak Dan Kewajiban Konsumen/Penderita
Semua hak dan kewajiban konsumen yang tercantum, pada UU No. 8 Tahun 1999 akan merupakan pula hak dan kewajiban penderita selaku konsumen pada sebuah rumah sakit. Ada 9 hak yang secara tegas tercantum dalam UU Perlindungan konsumen tersebut. Dan hak tersebut, maka banyak hal telah tercakup dalam beberapa ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Dep. Kes. RI. Beberapa hal misalkan:
a. Upaya akreditasi rumah sakit bertujuan agar mutu layanan rumah sakit lebih baik dan menunjang kenyamanan dan keselamatan penderita.
b. Hak penderita untuk mendapatkan “second opnion”, bila merasa bahwa pelayanan seorang dokter tidak/kurang meyakinkan kalau perlu pindah rumah sakit. Penderita berhak untuk mendapatkan catatan pengobatan di rumah sakit lama.
c. Adanya “informed consent”, penderita berhak mendapatkan penjelasan yang lengkap sebelum dilakukan tindakan tertentu. Penderitapun berhak menolak bila tidak menyetujui rencana tindakan yang akan dilaksanakan dokter dan rumah sakit terhadapnya. Bila ada penolakan tersebut, segala akibat tidak dilakukannya tindakan tersebut menjadi tanggung jawab peniderita.
d. Adanya MKEK ( Majelis Kode Etik Kedokteran ), bertujuan untuk melindungi penderita dari kemungkinan mal praktek seorang dokter di rumah sekit.
e. Pencatuman hak penderita mengharuskan Rumab Sakit harus meningkatkan pelayanan sehingga penderita merasa diperlakukan dengan baik, tidak diskriminatif, jujur, adanya kenyamanan dalam memperoleb
layanan dan lain-lain. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen, rumah sakit akan meningkatkan faktor-faktor pelayanan tersebut, satu hal yang dirasakan sangat kurang bila dibandingkan rumah sakit diluar negeri.
f. Dalam menghadapi tuntutan kompensasi, ganti rugi oleh penderita, dengan adanya UU ini perlu diwaspadai pemanfaatan oleh pihak ke 3. Walaupun tuntutan ganti rugi atas kesalahan atau kekurangan, pelayanan rumah sakit/dokter terhadap seorang penderita, dapat menyebakan rumah sakit/dokter lebih berhati-hati dalam melaksanakan pelayanan kegiatan pelayanan, dan ini akan menyebakan peningkatan biaya yang akhirnya akan dipikul penderita secara keseluruhan. Hal ini dapat terjadi karena baik rumah sakit maupun dokter akan bekerja sama dengan asuransi guna melindungi dirinya, karena tuntutan bisa sangat besar dan tak akan terpikul oleh dokter maupun rumah sakit.
III. Kewajiban konsumen/penderita
Mengenai kewajiban penderita dalam hubungan antara dokter umah sakit dengan penderita, akan sangat mendukung pelaksanaankegiatan rumah sakit maupun dokter.
a. Kepatuhan penderita akan prosedur dan tatacara pengobatan akan mendukung kesembuhan.
b. Disamping itu adanya pihutang yang tidak terbayar dan umumnya lebih banyak menimpa rumah sakit golongan IPSM yaitu rumah sakit yang biasanya melayani golongan menengah kebawa diharapkan akan berkurang sehubungan dengan adanya penekanan bahwa penderita akan membayar sesuai dengan tarif yang telah disepakati.
IV. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha/Rumah Sakit
A. Hak pelaku usaha/rumah sakit
a. Hak menerima pembayaran atas tarif yang sudah disepakati akan sangat mengurangi pihutang yang tidak terbayar. Hal ini juga akan mencegah penderita menggunakan kelas perawatan yang diluar kesanggupan untuk membayar.
b. Dalam menghadapi penderita yang kurang beritikad baik, rumah sakit akan melakukan kerja sama dengan asuransi. Ini perlu diwaspadai agar ujung-ujungnya tidak merugikan penderita.
c MKEK akan melindungi penderita sekaligus juga melindungi dokter/rumah sakit bila tidak bersalah. Adanya peradilan profesi yang sedang diprakasai oleh MKEK/IDI untuk mewujudkannya, akan sangat melindungi kedua belah pihak baik penderita maupun dokter/rumah sakit. Hanya perlu diwaspadai agar kegiatan ini tidak menjadi pos biaya baru bagi rumah sakit.
B. Kewajiban pelaku usaha
a. Pada umumnya semua kewajiban telah diatur dalam ketentuan Menteri Kesehatan maupun Dir. Jan. Yanmed seperti adanya ketentuan hak dan kewajiban rumah sakit, penderita dan pemulik rumah sakit, “informed Consent”, ketentuan akreditasi rumeh sakit dan lain-lain.
b. Kewajiban agar memberi kesempatan konsumen/penderita untuk menguji atau mencoba barang/jasa layanan rumah sakit sulit
untuk dilaksanakan. Hal ini mungkin sudah tercakup dalam ketentuan “informed Consent” dalam hal ini penderita menyatakan persetujuan atau menolak tindakan yang akan dilaksanakan kepadanya setelah penderita mendapat penjelasan yang lengkap tentang untung dan ruginya serta risiko tindakan yang akan dilaksanakan terhadapnya. Dengan adanya UU ini dokter/rumah sakit akan lebih ber-hati-hati dan ber-sungguh melaksanakan “informed Consent”.
c. Pemberian kompensasi dalam bidang perumah-sakitan sangat sulit untuk diukur besarnya. Hal ml, akan memaksa rumah sakit atau dokter untuk bekerja sama dengan asuransi sehingga akhirnya akan membebani penderita sendiri secara keseluruhan.
d. Disamping itu tidaklah mungkin dokter/rumah sakit menjamin tentang hasil/upaya yang dilakukan terhadap seorang penderita walaupun secara teori kedokteran sesuatu tindakan itu walaupun tepat pelaksanaannya hasilnya tidak dapat diramalkan. Maka pelaksanaan “informed Consent” yang benar sudah merupakan cerminan hak penderita untuk menooba layanan rumah sakit/dokter sebe lumnya.
V. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha/rumah sakit
a. Dalam pelarangan terhadap pelaku usaha/rumah sakit yang tercantum pada BAB IV pasal 8 pada umumnya telah tercakup oleh KEP. Men. Kes dan 5K. Dir. Jen. Yanmed. Dengan berlakunya UU NO. 8 Th. 1999 tentang perlindungan konsumen, maka pelaksanaan ketentuan ini lebih diperkuat, sehingga terasa positif di lapangan.
b. Dalam masalahnya promosi rumah sakit/dokter, selalu akan terkait dengan etika rumah sakit maupun etika kedokteran. Dilain pihak konsumen/penderita memang sangat memerlukan informasi yang benar tentang produk jasa layanan kesehatan yang ditawarkan rumah sakit/dokter. PERSI merasakan bahwa sebagai institusi yang menghasilkan produk jasa layanan kesehatan dan akan dibutuhkan oleh konsumen/penderita, pada dasarnya kegiatan promosi wajib dilaksanakan. Sehingga mengacu kepada etika yang ada, kebutuhan konsumen dan keterbatasan biaya yang dimiliki rumah sakit, kegiatan promosi. iklan dan lain-lain oleh rumah sakit harus memperhatikan:
1) Promosi/iklan harus murni bersifat informatif.
2) Promosi/iklan tidak bersifat komparatif artinya membandingkan dengan institusi rumah sakit/ dokter lain dan mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang terbaik dan yang lain jelek.
3) Promosi/iklan harus berpijak pada dasar kebenaran.
4) Promosi/iklan tidak berlebihan.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka kegiatan promosi, iklan dan kegiatan lain dalam rangka memperkenalkan produk rumah sakit/dokter tidak dianggap melanggar etik.
c. Kegiatan promosi bentuk lain seperti “sales promotion”, pelayanan obral, dan tawaran lain dalam bentuk hadiah sebaiknya dilarang untuk rumah sakit/dokter, karena untuk melanggar ketentuan yang 4 buah diatas sangat besar kemungkinannya.
Kesimpulan
Dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Pada dasarnya semua hak dan kewajiban baik untuk konsumen/penderita, maupun rumah sakit/dokter telah tercakup dalam ketentuan yang dikeluarkan Dep. Kes. RI. Dengan dikeluarkannya, UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut diperkuat sehingga berpengaruh positif pada hubungan antara penderita, rumah sakit/dokter dan pemilik rumah sakit.
b. Perlu diwaspadai tentang hak yang berkaitan dengan tuntutan kompensasi/ganti rugi terhadap layanan yang dirasakan tidak sesuai dan ketentuan yang ada. Perlu adanya pengawasan agar adanya upaya pihak ke 3 yang berlebihan, ujung-ujungnya akan merugikan konsumen/penderita sendiri karena akan meningkatkan biaya pelayarian kesehatan secara umuin. Peran MKEK perlu ditingkatkan. Prakarsa adanya peradilan profesi merupakan langkah strtegis dalam menangani perselisihan antara rumeh sakit/dokter dengan penderita. Tetapi perlu pula diwaspadai adanya keterlibatan pihak ke 3 yang terlampau dalam.